Manusia, terkait dengan eksistensi sosialnya, memiliki dua macam kebutuhan dasar, yaitu kebutuhan material dan kebutuhan spiritual. Kebutuhan material manusia antara lain adalah pangan, air, papan, sandang, obat dan sebagainya. Kebutuhan spiritual manusia adalah pendidikan, pengetahuan, sastra, seni, gagasan filosofis, agama, ideologi, prinsip moral dan sebagainya. Manusia selalu memiliki dua macam kebutuhan ini. Para pendukung fundamentalitas kebutuhan material berpendapat bahwa kebutuhan material lebih penting dan lebih utama sedangkan kebutuhan spiritual manusia merupakan produk sampingan dari kebutuhan materialnya.
Teori fundamental kebutuhan materialisme tampaknya tidak berlaku secara merata bagi setiap manusia, bahkan dalam setiap perkembangan kehidupan manusia itu sendiri. Teori tersebut mungkin lebih bisa diterima dalam masyarakat perkotaan yang cenderung menjadikan agama sekadar kewajiban, situasi kehidupan materialisme membuat materi menjadi solusi kebahagiaan sehingga penghayatan agama menjadi terkesampingkan. Sebaliknya, bagi masyarakat desa agama adalah kebutuhan, yang secara praktis dapat memberi mereka jawaban-jawaban esensial untuk menjalani hidup.
Kegiatan keagamaan atau religiositas adalah derajat dan jenis ekspresi dan partisipasi religi/agama dari seseorang (lansia). Beberapa indikator religiositas antara lain kehadiran di tempat ibadah, partisipasi dalam kegiatan keagamaan, beribadah, membaca kitab suci, melakukan kebaktian, sholat, berdzikir atau meditasi, dan kegiatan keagamaan yang lain sesuai tuntunan kitab suci atau pedoman dalam agamanya.
Namun seiring dengan berkembangnya jaman, dimana suasana perkotaan sudah merambah berbagai pelosok desa, nilai-nilai spiritualitas mengalami pergesekan maupun pergeseran. Tuntutan kebutuhan material yang semakin tinggi tetapi tidak didukung sistem dan kemampuan sumber daya di desa, terkadang membuat sebagian masyarakat desa mencari jalan alternatif yang irasional. Bagi kaum muda yang masih mempunyai tenaga yang kuat, menyikapi tingginya kebutuhan material, mungkin mereka akan pergi ke kota-kota besar dengan bekerja sebagai tenaga kasar, kuli bangunan, atau pedagang kaki lima. Sebagian yang lain, terutama yang malas atau kurang bisa menggunakan tenaga muda, mereka akan mencari uang dengan menghalalkan segala cara, misalnya menjual diri. Namun, bagaimana dengan kaum yang sudah tua? tenaga sudah jauh menurun, penampilan sudah tidak secerah waktu muda, penghasilan semakin berkurang, kebutuhan hidup tetap tinggi, apa yang akan mereka lakukan? Bagaimana nilai-nilai spiritualitas mampu mengarahkannya?
Memang ada sebagian masyarakat yang dengan semakin bertambahnya usia, mereka semakin taat pada ajaran agamanya dan semakin berserah diri kepada Tuhannya. Namun, sebagian yang lain mencari nilai-nilai spiritual melalui cara-cara yang justru bertentangan dengan ajaran agama yang dianutnya, seperti percaya pada kuburan, pergi ke dukun, mengunjungi tempat-tempat keramat, dan bersemedi untuk mendapatkan keajaiban-keajaiban yang sulit dinalar.
Sebenarnya, kembali lagi pada konsep kebutuhan manusia. Jika dari awal seseorang memang mempunyai orientasi materialisme, maka di masa-masa tuanya ideologi tersebut tetap dipegangnya. Justru karena materi itu tidak kekal, orang yang berorientasi materialisme ini di masa tuanya akan mengalami keguncangan, ambivalensi, dan ketidak-berdayaan. Sehingga, berbagai cara akan ditempuhnya untuk tetap memenuhi kebutuhan materialnya, walaupun cara-cara yang dipilih terkesan kurang masuk akal.
Jika seseorang sejak awal berorientasi pada konsep spiritualisme, maka segala tindakan dan upaya apapun yang mereka lakukan seperti sholat, beribadah, bekerja, termasuk untuk kebutuhan material, tetap harus sesuai dengan nilai-nilai spiritual. Tindakan tersebut tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai spiritual yang dianutnya, karena kegiatan atau segala tindakannya adalah suatu cara mengekspresikan nilai-nilai spiritual. Sehingga di saat usianya sudah lanjut, tenaganya untuk bekerja sudah menurun, ada energi lain yang tetap membuatnya tetap tegar, semangat, dan merasa bahagia di akhir kehidupannya. Nilai-nilai cinta kasih, makna kedekatan dengan tuhan, kebutuhan mencintai tuhan dan perasaan dicintai tuhan, melebihi dari kebutuhan apapun yang ada di dunia. Sehingga walaupun sehari makan hanya dua kali atau bahkan hanya sekali, perut terasa tidak lapar karena sudah tergantikan oleh nikmatnya mencintai, dicintai dan dekat dengan tuhan yang maha segala-galanya.
Spiritualitas digambarkan sebagai kekuatan yang menyatukan, memberi makna pada kehidupan dan terdiri dari nilai-nilai individu, persepsi dan kepercayaan juga keterikatan di antara individu. Kebutuhan spiritual diidentifikasi sebagai kebutuhan dasar segala usia, kebutuhan akan makna dan tujuan, akan cinta dan keterikatan, dan akan pengampunan (Mc.Stanley, 2007).
Achir Yani S Hamid (2000) menjelaskan bahwa kebutuhan spiritual adalah kebutuhan untuk mempertahankan atau mengembalikan keyakinan dan memenuhi kewajiban agama, serta kebutuhan untuk mendapatkan maaf dan pengampunan, mencintai, menjalin hubungan penuh rasa percaya dengan Tuhan. Kebutuhan spiritual merupakan kebutuhan untuk mencari arti dan tujuan hidup, kebutuhan untuk mencintai dan dicintai serta rasa keterikatan, kebutuhan untuk memberikan dan mendapatkan maaf. Dimensi spiritual ini berupaya untuk mempertahankan keharmonisan atau keselarasan dengan dunia luar, berjuang untuk menjawab atau mendapatkan kekuatan ketika sedang menghadapi stres emosional, penyakit fisik atau kematian.
Kesimpulannya adalah spiritualitas berhubungan dengan keyakinan internal seseorang dan pengalaman pribadi dengan Tuhan, sedangkan kegiatan beragama adalah cara mengekspresikan aspek dari dalam keyakinan seseorang. Kebutuhan spiritual merupakan kebutuhan untuk mencari arti dan tujuan hidup, kebutuhan untuk mencintai dan dicintai serta rasa keterikatan, pasrah kepada Tuhan dan kebutuhan untuk memberikan dan mendapatkan maaf.
2 komentar:
terimakasih sudah berbagi
kebutuhan spritual merupakan hal tidak terpisahkan dari keperawatan.
Posting Komentar