Jumat, 09 April 2010

Pola Pengasuhan Anak

Menurut Soetjiningsih (1995) pola pengasuhan adalah kemampuan keluarga terutama ibu untuk menyediakan waktu, perhatian dan dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh dan berkembang sebaik-baiknya secara fisik, mental dan sosial yang meliputi pemenuhan kebutuhan dasar anak, seperti pemberian makanan, mandi dan menyediakan serta memakaikan pakaian buat anak termasuk didalamnya adalah memonitoring kesehatan anak, menyediakan obat, dan merawat serta membawanya ke petugas kesehatan.

Pengasuhan anak merupakan tanggung jawab seluruh anggota keluarga dan masyarakat. Dimana tidak hanya anak saja yang perlu diberikan pengasuhan, calon ibu pun diberikan pengasuhan. Calon ibu diberikan asuhan oleh petugas kesehatan atau masyarakat secara prima agar dapat menjalankan fungsinya. Pengasuhan anak ini memerlukan penyediaan sejumlah waktu, respon pengasuh terhadap tanda yang diberikan anak, dukungan terhadap fisik dan mental serta sosial anak bagi proses pertumbuhan.

Pengasuhan anak merupakan bagian yang sangat penting dari proses sosialisasi yang dapat berakibta besar terhadapa kelakuan si anak jika dia sudah emnjadi dewasa. Hal ini terkait dengan kelakuan manusia yang bervariasi tergantung pada masyarakat yang dibicarakannya atau pendukung kebudayaan tersebut. Variasi-variasi itu diteruskan dari satu generasi ke generasi yang berikutnya melalui "sosial learning" (linton, 1962;127-129). Pengaruh kebudayaan pada keprbadian anak sangat besar dengan cirri-ciri kepribadian anak yang berkebudayaaan berlainan tidaklah sama. Hal ini disebabkan oleh sistem nilai kebudayaan masing-masing yang berbeda sehingga cara mengasuh dan mendidiknypun berbeda (linton, 1962 :119-121)

Proses sosialisasi bersangkutan dengan proses belajar kebudayaan dalam hubungan dengan sistem sosial. Dalam proses itu seorang individu dari masa kanak-kanak hingga masa tuanya belajar pola-pola tindakan dalam interaksi dengan segala macam perananan sosial yang mungkin ada dalam kehidupan sehari-hari (koentjaraningrat, 1980;243). Sedangkan dalam konsep watak kebudayaan sebagai kesamaan regularities sifat di dalam organisasai intra psikis individu  anggota suatu masyarakat tertentu yang diperoleh karena cara pengasuhan anak yang sama di dalam masyarakat yang bersangkutan, (Margaret Mead dalam  James Danandjaja, 2005) Apabila ini dikaitka dengan konsep watak masyarakat dilandasi oleh pikiran untuk menghubungkan kepribadian tipikal dari suatu kebudayaan dengan kebutuhan obyektif   tersebut membentuk watak masyarakat dari masyarakat tersebut melalui latihan yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak-anak mereka, sementara orang tua telah memperoleh unsur-unsur watak tersebut baik dari orangtuanya atau sebagai jawaban langsung terhadap kondisi-kondisi perubahan masyarakat.

Adanya perbedaan sifat-sifat kepribadian atau tempramen antara anak laki-laki dan anak perempuan tidak bersifat universal. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan kebudayaan struktur sosial, dan sejarah seperti yang dimiliki kaum wanita pada umumnya dimasayarkat ero-Amerika. Hal ini juga terkait dalam pergaulan adat mengenai seks, yang cukup berperan aktif dalam kebudayaan wanita. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila yang berias diri adalah kaum laki-lakinya pada masyarakat tchambuli berbeda dengan yang dimiliki kaum wanita pada masyarakat ero-amerika (Mead, 1935).  Misalnya pada wanita jawa dari kalangan atas, apabila berada di depan umum akan mempertunjukan kepribadian yang lembut, namun jika berada di rumah sendiri kepribadian seperti itu tidak akan dipertahankan, melainkan tergantung kepribadian perorangannya, situasi dan kondisi. Kepribadian yang lemah lembut itu adalah kepribadian yang ditentukan oleh kebudayaan Jawa bagi kaum wanitanya sebagai kepribadian formal, namun tidak formal lain lagi tergantung watak pribadinya serta situasi dan kondisi (Mead dalam Danandjaja, 2005 )

Pada orang jepang berkelebihan terhadap upacara kerapihan, dan ketertiban ada keinginan tersembunyi untuk berbuat agresif. Sifat seperti ini timbul sebagai akibat kebencian sewaktu bayi, yang di paksakan untuk melakukan sesuatu yang tidak ia mengerti, karena harus mengendalikan otot lubang duburnya, sebelum ia dapat menguasainya. Kebencian ini akan tetap merupakan sebagaian kepribadiannya setelah dewasa nanti.(Gorer, 1943) Disisi lain seoarang bayi rusia akan dibedong dengan erat dengan sehelai kain panjang yang mengikat tungkai bawahnya maupun tungkai atanya lurus dikedua samping tubuhnya. Alasan yang diberikan untuk membedong ini adalah seoarang bayi mempunyai potensi kekuatan yang sangat besar, jika tidak dibedong akan menyakiti tubuhnya sendiri. Pembedongan ini akan dilepas dari ikatan bedongnya sewaktu disusui saja dan dilakukan sampai usui Sembilan bulan. Pembedongan ini sangat menghambatbukan saja gerak fisik anak, melainkan juga ekspres emosial mlalui seluruh tubunya. Oleh karena itu dengan pembedongan ini jiwanya akan terkekang sehingga menimbulkan frustasi. Akibatnya timbulah manic depressive masal pada orang rusia dewasa pada umunya. Itulah sebabnya setelah dewasa orang rusia senang akan berpesta gila-gilaan dengan minuman keras. Tetapi dengan kondisi lain mereka merasa sedih dan dosa (Gorer, 1949).

Disisilain pola pengasuhan anak pada setiap suku bangsa, suku bangsa, atau masyarakat berbeda-beda. Bahkan dalam tiap keluarga bentuk pola pengasuhan anaknya tidak sama. Hal ini selain di pengaruhi oleh keadaan lingkungan sekitar juga oleh faktor kehdupan latar belakang. Misalnya latar belakang pendidikan, mata pencaharian, keadaan sosial dan ekonomi. Hal ini lah yang membuat pola pengasuhan anak berbeda-beda. Pola pengasuhan anak dalam keluarga pedagang berbeda dengan pola pengasuhan anak petani.